Jurang Menuju Kepunahan Ikan Pelus

ULASAN CIPTO YUONO – Memikir ulang rencana Bupati Bengkulu Selatan, Gusnan Gundul gandeng investor Jepang kembangkan budidaya ikan sidat di tanah sekundang setungguan.

Tentu kita harus menghormati niat mulia seorang kepala daerah yang ingin terus meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, dengan cara memaksimalkan seluruh potensi ekonomi.

Sektor perikanan menjadi salah satu potensi populer yang dipercaya dapat menjadi penggerak ekonomi.

Dalam status akun Facebook Gusnan Gundul, yang mengunggah foto Bupati Bengkulu Selatan, Gusnan Mulyadi sedang berjumpa beberapa orang di sebuah ruangan cukup mewah.

“Bapak Toshihiro Nakamura Direktur PT. Singgasana Unagi Indonesia Siap jadikan Bengkulu Selatan sebagai salah satu kabupaten penyuplai Sidat untuk kebutuhan pasar lokal dan Internasional terutama Jepang, karna sidat sendiri adalah salah satu makanan favorit di Jepang ( Unagi ) dan kebutuhan setiap harinya sangat besar sehingga Bengkulu Selatan berpeluang untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan budidaya Sidat ( Ghilau )” tulis akun Gusnan Gundul dalam status Facebook.

Saya khawatir, hadirnya budidaya ikan sidat di Bengkulu Selatan, menjadi ancaman kepunahan seluruh jenis ikan sidat ( Pelus aik besak dan Pelus pamah atau ghilau) di bumi sekundang.

Kenapa saya mengkhawatirkan hal tersebut?

Sepengetahuan saya (dari bahan bacaan) dan diperkuat keterangan teman saya seorang sarjana perikanan. Bahwa ikan sidat belum dapat dikembangbiakkan atau pemijahan di tempat penangkaran.

Penyebabnya, karena siklus hidup ikan sidat yang unik. Ikan sidat dewasa akan melepas telur di laut, telur sidat akan mentas di laut dengan kedalaman bisa mencapai 400 M dpl.

Setelah menetas, ikan sidat akan berenang menuju air payau (muara sungai). Ikan sidat kecil masih berbentuk agak pipih dan transparan. Biasanya disebut glass Eel.

Proses pendewasaan, ikan sidat akan terus menuju air tawar atau hulu sungai. Kemudian ikan bertubuh panjang, bentuk badan bulat dengan bagian ekor pipih ini akan kembali ke laut untuk reproduksi.

Lalu bagaimana orang-orang bisa membudidayakan ikan sidat?

Jawabannya, berburu Glass Eel alias anakan ikan sidat di muara-muara sungai. Menurut informasi, biasanya Glass Eel diburu pada malam hari.

Peralatannya cukup sederhana, lapu penerang dan jaring tangguk, serta wadah menaruh hasil tangkapan.

Harga Glass Eel katanya memang mahal. 1 kilogramnya, disebut bisa dihargai Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta. 1 kilogram Glass Eel jumlahnya memang ribuan ekor.

Disinilah letak masalahnya, jika tersedia penampung anakan ikan sidat (Glass Eel) di Bengkulu Selatan, dan dia sanggup membeli Glass Eel berapapun jumlahnya. Sangat besar kemungkinan masyarakat akan berbondong-bondong turun berburu anak sidat di muara-muara sungai.

Glass Eel terkepung, lebih banyak yang masuk tangguk ketimbang yang lolos sampai ke hulu sungai dan tumbuh dewasa.

Kalaulah ikan sidat dewasa sudah sedikit di hulu sungai, akan sedikit pula sidat yang kembali ke laut untuk bertelur. Ditambah lagi ancaman penangkapan ikan sidat/plus dewasa di bagian hulu. Tak butuh waktu lama, IKAN PELUS DI BENGKULU SELATAN, TAMAT!

Sejatinya, perburuan Glass Eel ikan sidat ini bukan belum terjadi. Menurut sohib saya asal Kedurang, sejak 5 hingga 10 tahun silam, sudah ada pemburu anak sidat di muara Aiak Kedurang dan sekitarnya. Hasil tangkapannya dibawa ke arah Lampung.

Saya berharap Pelus tetap dapat dijumpai di Bengkulu Selatan pada waktu puluhan hingga ratusan tahun kedepan.

Warung nasi di tepi sungai Aiak Manna dan Nyelengau tetap bisa menyuguhkan menu gulai ikan Pelus kepada pelanggan.

Bupati Gusnan sebetulnya menyebut spesifik ikan sidat yang rencana bakal dibudidayakan adalah sidat jenis ghilau alias Pelus pamah yang berwarna kekuningan saat ukuran sedang dan silver saat sudah dewasa.

Bukan ikan Pelus/sidat Aiak besak (Aiak Manna, Kedurang, Pinau dll) yang warnanya cendrung bercorak atau bermotif.

Saya berharap Tuan Toshihiro Nakamura dan tim sudah mampu mengembangbiakkan sidat jenis Ghilau (kata Bupati Gusnan) dengan metode penangkaran.

Kalau anakan atau benih sidat yang akan dibesarkan masih diburu dari alam liar, sebaiknya rencana ini dipikir ulang.

Toh peran masyarakat lokal nanti, kebanyakan paling sebatas pemburu Glass Eel. Bertaruh nyawa dengan alam liar dan berebut lapak dengan sesama pemburu.

Terjun sebagai pembudidaya? Walau ada masyarakat lokal yang sanggup, tapi kemungkinan tidak banyak.

Belum lagi nanti berurusan dengan standarisasi barang ekspor. BLA BLA dan ini itu. Pemerintah tidak bisa hanya sekedar membuka pintu bagi investor.

Dampak ekonomi terhadap masyarakat, kemungkinan tidak begitu luas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *